Minggu, 19 Juni 2011

POLITIK DI INDONESIA TAHUN 2011

East Asia Summit of the World Economic Forum yang baru saja berakhir seperti menandakan bahwa Indonesia sedang berada di puncak kejayaan.

Sebagai peserta, saya harus memberi selamat kepada Ibu Mari Pangestu dan Gita Wirjawan - keduanya kebetulan saya kenal baik - atas usaha dan kerja keras mereka selama konferensi berlangsung. Kementerian mereka tidak kalah dari para organizer di Swiss dalam hal efisiensi dan profesionalisme.

Dua atau tiga belas tahun yang lalu, sulit membayangkan kehadiran para figur besar ini– para pengusaha global, pejabat publik, pelaku keuangan dan think-tanker- di Jakarta.

Sejumlah pengusaha sibuk seperti Sir Martin Sorell dari WPP, Paul Polman dari Unilever, dan Stuart Gulliver dari HSBC pasti memiliki banyak sekali agenda dalam jadwal mereka.

Kehadiran mereka di Jakarta, tak lama setelah kunjungan tokoh-tokoh pemimpin politik besar (seperti Presiden AS Barack Obama) dan penyanyi pujaan dunia (Justin BIeber), semakin mengkokohkan Jakarta sebagai ibukota negara ASEAN terdepan.

Di saat yang sama, perusahaan yang sedang berkembang pesat seperti Air Asia sedang menjajaki kemungkinan membuka kantor pusat regional di Jakarta – satu lagi bukti pengaruh Jakarta yang semakin besar.

Keberadaan Indonesia yang semakin kuat di kancah internasional ini kemudian diimbangi dengan kondisi keuangan Indonesia yang ternyata sangat sehat. Seperti dulu pernah saya tulis dalam salah satu kolom saya, waktu telah berubah dan Indonesia kini berada dalam situasi yang baik, saat ia sedang menunggu kenaikan rating kredit (satu tingkat di bawah investment grade). Sementara AS sedang berusaha menanggulangi defisit, devaluasi dan stagnasi ekonomi. Seperti yang pernah dikatakan seorang ekonom baru-baru ini, AS memiliki potensi lebih besar untuk gagal melunasi utangnya dibandingkan Indonesia.

Sementara kubu Republik dan Demokrat sedang bertarung menaikkan batas utangnya yang mencapai triliunan dollar, Indonesia mencatat angka rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 27%. Roda kehidupan memang selalu berputar.

Namun, di tengah semua berita baik ini, saya punya beberapa kekhawatiran – dan tidak ada hubungannya dengan politik. Dalam banyak hal, evolusi politik Indonesia jauh lebih cepat berkembang dibandingkan perekonominya. Demokrasi telah tertanam dengan baik dan kuat dalam masyarakatnya.

Tapi di luar semua ini, Indonesia sedang terancam bahaya dengan hanya menjadi sapi perah atau koloni dari semakin besarnya kekuatan imperial– China dan India.

Karena itu saya agak cemas menyikapi momentum pertumbuhan ekonomi saat ini. Kita tidak mau melihat kembali terjadinya titik terang palsu di awal tahun 90an, yang segera dihancurkan oleh krisis finansial 1998.

Memang, dapat dikatakan kita sudah berada di titik puncak dari booming yang sedang terjadi.

Apakah gejala melambatnya perekonomian China – pengetatan kredit dan peningkatan inflasi adalah tanda-tanda masalah bagi Indonesia?

Apakah 'tipping point' dalam hal ini mengacu pada kemerosotan dan bukannya titik awal untuk semakin berkembang?

Tentu saja, infrastruktur harus diperbaiki. Kondisi jalan-jalan, listrik, pelabuhan dan bandara masih belum memadai.

Namun tantangan yang lebih besar adalah pada pola pikir kaum elit Indonesia sendiri. Saat ini, pergi ke Banjarmasin dan Balikpapan untuk mendapatkan konsesi tambang batu bara, mengembangkan produk-produk dan layanan baru terdengar sangat ketinggalan zaman.

Booming bahan mentah merupakan suntikan insentif dalam dunia bisnis dan pemerintah harus menyeimbangkan besarnya pengaruh pengusaha di industri sumber daya alam dalam perencanaan ekonominya.

Jelas, tidak ada yang salah dengan menjual sesuatu yang berlimpah di suatu negara, tapi rakyat Indonesia harus kembali memfokuskan diri untuk meningkatkan nilai dari sumber daya yang siap mereka kirimkan ke Mumbai dan Shanghai.

Mantan Presiden BJ Habibie memperingatkan rakyat Indonesia awal bulan ini untuk tidak mengorbankan kedaulatan ekonomi mereka.

Walaupun saya sedikit ragu, saya setuju dengan argumen beliau, karena ada bahaya yang cukup besar yang mengancam Indonesia dapat jatuh ke dalam pola eksploitatif dalam pertumbuhan ekonomi ini.

Tidak adanya penambahan nilai dalam ekonomi pada jangka menengah akan menggerogoti nilai kompetitif Indonesia, dan akan mempengaruhi perkembangan kemampuan SDM, pertumbuhan lapangan kerja, serta kesejahteraan.

Pertama, liberalisasi bukanlah tujuan akhir, dan harus diatur secara cerdas. Dan ada saat-saat di mana kepentingan nasional harus didahulukan.

Contohnya, perusahaaan raksasa global seperti Samsung, Toyota dan Lucky Goldstar dibesarkan oleh pemerintah negaranya masing-masing. Memang, terdapat risiko pemerintahan di situ, akan tetapi hasil positifnya juga sebanding dengan upaya yang dikerahkan.

Ada sesuatu yang harus lebih diperhatikan pada bidang manufaktur. Ketika China terlanda inflasi, Indonesia bisa diuntungkan dari relokasi industri yang mungkin terjadi.

Bila ini terjadi, kisah pertumbuhan Indonesia dapat 'ditulis ulang' dengan lebih positif: tidak hanya terbatas pada ketersediaan komoditas yang tidak stabil, akan tetapi berdasarkan penciptaan nilai.

Jadi, sebelum kita merayakan pemulihan Indonesia, mari kita ingat bahwa tipping point ini bisa berlanjut naik atau justru sebaliknya. Perekonomian Indonesia memang bisa menjadi salah satu dari 10 yang terbesar pada 2025. Namun, ini bisa berisiko menjadikan Indonesia sebagai Rusia versi Asia – sebuah negara di mana usaha dan manufaktur tergantikan oleh pencari rente dan korupsi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar